Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Iklan Navigasi Header

Kifayatul Awam | 01 (Muqoddimah)

بسم الله الرحمن الرحيم
    Segala puji bagi Allah pencipta tunggal. Sholawat serta Salam semoga tehaturkan kehadirat tuan kita Muhaamad; sebaik-baiknya hamba dan (semoga terhaturkan) untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya yang menjadi kebaikan dan petunjuk.

    Selanjutnya, berkata seorang hamba yang mengharap Rahmat tuhannya yang maha agung; yakni Muhammad bin Syafi' Al Fudhali yang bermadzhab Syafi'i (bahwa) "Sebagian teman-teman meminta kepadaku untuk mengarang sebuah Risalah (Kitab) tentang Tauhid / Teologi, kemudian aku turuti permintaan mereka sembari meniru Syekh Sanusi dalam menetapkan beberapa dalil, hanya saja disamping menampakkan Madlulnya (yang didalili) saya lengkapi dengan penjelasan karena aku tahu lemahnya (pemahaman) orang yang meminta (untuk mengarang kitab).

    Lalu dengan memanjatkan puji kepada Allah hadirlah sebuah Risalah yang bermanfaat dan (berguna) untuk menerangkan makna yang mulia. Dan kunamakan Risalah ini dengan كفاية العوام فيما يـجب عليهم من علم الكلام. Kepada Allah aku memohon agar bisa dimanfaatkan, Dia-Lah kecukupanku dan sebaik-baiknya dzat yang dipasrahi.

    Perlu diketahui bahwa setiap orang Islam wajib mengetahui 50 akidah dan masing-masing akidah harus diketahui dalil Ijmalnya atau dalil Tafshilinya, sebagian ulama mengatakan bahwa dalil Tafshil harus diketahui, namun mayoritas ulama (yang ternama) menyatakan bahwa masing-masing akidah dari 50 akidah cukup diketahui dalil Ijmalinya saja. Contoh dalil Tafshil adalah ketika dikatakan "Apa dalil wujud / adanya Allah Ta'ala?" dijawab dengan "Ciptaan-ciptaan ini", lalu si penanya bertanya (lagi) pada si penjawab "Ciptaan-ciptaan ini menunjukkan wujudnya Allah dari segi 'mungkinnya' (bisa ada, bisa juga tidak) atau dari segi adanya setelah tidak ada?" Kemudian bisa dijawabnya lagi pertanyaan itu.

    Adapun jika orang tersebut tidak bisa menjawab lagi, justru hanya mengatakan 'Ciptaan-ciptaan ini' dan tidak mengetahui dari segi 'mungkinnya' atau dari segi adanya setelah tidak ada, maka itu dikatakan dalil Ijmali dan itu mencukupi menurut mayoritas ulama (bagi orang awam).

    Adapun Taqlid adalah seseorang yang mengetahui 50 akidah namun tidak mengerti dalil Ijmali atau Tafshili, dalam hal ini para ahli berbeda pendapat, beberapa mengatakan bahwa Taqlid saja tidak cukup dan orang yang bertaqlid saja (hukumnya) kafir, pendapat ini disuarakan oleh Ibnu 
Arabi, Imam Sanusi dan dikupas panjang lebar di dalam kitab Syarah Al Kubra untuk menyangkal pihak yang mengatakan cukup dengan Taqlid. Namun dinukil bahwa Imam Sanusi menarik ucapannya dan berkata cukup dengan Taqlid, tapi (nyatanya) kita belum mengetahuinya di kitab-kitabnya kecuali pernyataan bahwa Taqlid tidak cukup.


Muqoddimah  

    Perlu kalian ketahui bahwa memahami memahami 50 akidah yang akan datang tergantung pada 3 hal; Wajib, Mustahil dan Jaiz.

    Wajib adalah sesuatu yang tidak bisa terbayangkan oleh akal ketidakadaannya; artinya akal tidak membenarkan tidak adanya hal tersebut; seperti bertempatnya sebuah benda maksudnya ukuran ruang kosong yang terisi oleh suatu benda, Jirm itu seperti pohon dan batu. Jadi ketika seseorang berkata padamu bahwa pohon tidak memakan tempat / ruang / volume bumi; umpama, maka akalmu tidak akan membenarkan hal tersebut karena tempat / ruang yang terisi oleh (volumenya) pohon merupakan hal 'Wajib' yang tidak bisa dibenarkan oleh akal ketidakadaannya.

    Mustahil adalah suatu perkara yang tidak tergambar di akal wujud / eksistensinya; artinya akal tidak membenarkan keberadaannya. Jadi apabila seseorang berkata bahwa benda jenis ini terbebas dari diam dan bergerak secara bersamaan, maka akalmu tidak bisa membenarkan hal tersebut karena terbebasnya benda dari diam dan bergerak (secara bersamaan) adalah perkara mustahil yang tidak bisa dibenarkan oleh akal eksistensi dan wujudnya.

    Jaiz ialah sesuatu yang bisa diterima oleh akal adanya di satu waktu dan ketidakadaannya di waktu yang lain; seperti wujudnya anaknya Zaid. Jadi, bila ada seseorang berkata "Sesungguhnya Zaid memiliki anak", maka akalmu bisa menerima kebenaran tersebut dan bila seseorang berkata "Sesungguhnya Zaid tidak mempunyai anak", maka akalmu bisa menerima hal (ketidakadaan) tersebut. Jadi, ada dan tidak adanya anaknya Zaid merupakan hal Jaiz yang bisa diterima oleh akal ada dan tidak adanya.

    Jadi pemahaman akidah-akidah berkaitan dengan 3 pembagian (diatas) ini sehingga ketiga itu harus (diketahui) bagi setiap orang Mukallaf; baik laki atau perempuan karena sesuatu yang berkaitan dengan perkara wajib, maka hukumnyapun wajib. Bahkan Imam Haramain berkata bahwa memahami ketiga hal diatas adalah hakikat daripada akal sehingga sesiapapun yang tidak mengetahuinya dalam artian tidak mengetahui makna wajib, makna mustahil dan makna Jaiz, maka ia tidak berakal.

    Jika dikatakan 'Qudrah (kekuasaan) itu wajib bagi Allah, maka artinya Qudrahnya Allah tidak bisa diterima oleh akal ketidakadaannya karena perkara wajib merupakan sesuatu yang tidak bisa terbayangkan ketidakadaannya seperti yang sudah lewat.

    (Istilah) Wajib yang diartikan sebagai sesuatu yang diberikan pahala bila dilaksanakan dan disiksa bila dilalaikan itu adalah makna lain yang tidak dimaksudkan dalam llmu Tauhid sehingga jangan sampai kalian tidak mencampuradukkan hal (konteks) ini. Ya, Apabila dikatakan "Wajib bagi orang mukallaf meyakini kekuasaannya Allah Ta'ala", maka artinya 'Keyakinan tersebut akan diberi pahala dan akan disiksa bilamana dilalaikan.

    Maka bedakanlah antara ucapan "Meyakini hal tersebut Wajib" dan ucapan "Ilmu itu wajib"; umpamanya. Karena ketika dikatakan bahwa "Ilmu itu wajib bagi Allah", maka artinya "Ilmunya Allah itu tidak bisa diterima oleh akal ketidakadaannya", adapun ketika dikatakan "Meyakini ilmu itu Wajib", maka artinya "Meyakininya akan diganjar dan akan disiksa bila tidak diyakini". Maka berhati-hatilah membedakan keduanya dan jangan sampai kalian termasuk orang-orang yang bertaqlid (saja) dalam akidah-akidah agama, sehingga imanmu akan diperselisihkan yang akibatnya kau akan kekal di neraka bagi yang berpendapat 'Tidak cukup dengan Taqlid".

    Imam Sanusi berkata "Seseorang tidak disebut Mukmin jika ia berkata 'Aku sudah mantap dengan akidah-akidah tersebut; walau aku dipotong-potong menjadi beberapa potongan, aku tidak akan mundur dari kemantapanku ini' bahkan ia ia tidak termasuk beriman sampai ia mengetahui semua 50 akidah ini beserta dalilnya".

    Mendahulukan ilmu ini hukumnya Fardhu (Ain) sebagaimana dikutip dari Syarah kitab "Al-Aqaid" karena pengarangnya (Sa'ad Al-Taftazani) ilmu ini telah ditetapkan sebagai pondasi yang pembangun ilmu lain. Sehingga tidak dianggap sah pemutusan Wudhu'nya seseorang atau Sholatnya, kecuali orang tersebut sudah mengerti dengan akidah-akidah ini atau sudah mantap dengannya sesuai alur beda pendapat diatas tadi.

    Dan jika dikatakan "Al-Ajzu' (sifat lemah) itu Mustahil bagi Allah Ta'ala", maka artinya "Al-Ajzu tidak bisa diterima oleh akal adanya dan eksistensinya pada Allah Ta'ala". Hal ini juga berlaku dalam sifat-sifat mustahil yang lain.


    Bila dikatakan "Allah telah memberikan rezeki senilai 1 Dinar kepada Zaid" disebut Jaiz, maka artinya "Hal tersebut bisa diterima oleh akal adanya di satu waktu dan tidak adanya di waktu yang lain". Akan kami jelaskan padamu 50 akidah secara global sebelum dipaparkan secara rinci.

Post a Comment for "Kifayatul Awam | 01 (Muqoddimah)"