Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Iklan Navigasi Header

Fathul Qorib Tsani dan terjemah | Ma Layasihhu Nikah

 بسم الله الرحمن الرحيم

Fasal menjelaskan hal hal yang menjadi keabsahan nikah  Akad nikah hanya bisa sah dengan adanya Wali yang adil. Disebagian manuskrip redaksinya berbunyi; Wali yang (berjenis kelamin) laki.
Fasal menjelaskan hal hal yang menjadi keabsahan nikah

Akad nikah hanya bisa sah dengan adanya Wali yang adil. Disebagian manuskrip redaksinya berbunyi; Wali yang (berjenis kelamin) laki.

Pengecualian dari ketentuan diatas adalah wali yang (berjenis kelamin) perempuan, karena wali perempuan tidak bisa melamar untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Akad nikah juga bisa sah hanya dengan adanya 2 orang saksi yang adil.

Dan pada uraian ini, Mushonif menuturkan kriteria Wali dan 2 saksi tersebut;

Wali dan 2 orang saksi harus memenuhi 6 prasyarat :

1. Islam
Jadi, wali (pihak) perempuan tidak boleh kafir, kecuali pada permasalahan yang akan dikecualikan oleh Mushonif setelahnya

2. Baligh
Maka, wali (pihak) perempuan statusnya tidak boleh anak kecil

3. Berakal
Maka dari itu, wali perempuan tidak boleh gila; baik gilanya terus-menerus atau terhenti-henti (red:kumat-kumaten)

4. Merdeka
Jadi, dalam Ijab nikah, walinya tidak boleh berstatus budak. namun budak boleh Qobul dalam akad nikah

5. Laki laki
Wali, tidak boleh (berjenis kelamin) perempuan ataupun Khuntsa

6. Adil
Maka, Wali tidak boleh Fasiq
Dan Mushonif mengecualikan prasyarat diatas dengan isi pada uraian (dibawah) ini;
Dan Mushonif mengecualikan prasyarat diatas dengan isi pada uraian (dibawah) ini;

(Wali dan 2 orang saksi harus memenuhi 6 prasyarat), kecuali nikahnya kafir Dzimmi; walinya tidak perlu beragama Islam, dan nikahnya seorang Ammat tidak membutuhkan adilnya seorang Sayyid; jadi Sayyidnya boleh yang Fasik.

Semua prasyarat pada Wali sebelumnya berlaku (juga) pada 2 saksi nikah, adapun Wali yang buta (Tunanetra), maka berdasarkan Qoul Ashoh; tidak merusak kewalian, dalam artian boleh jadi Wali.


Wali Wali yang berhak melamarkan adalah (sesuai urutan) :

(1) Ayah lalu

(2) Kakek; yakni ayahnya ayah, kemudian ayahnya kakek (buyut) dan seterusnya. Kakek terdekat didahulukan daripada kakek yang jauh

(3) Saudara seayah seibu, andaikata Mushonif mengsitilahkannya dengan 'kandung', sudah tentu lebih ringkas

(4) Saudara dari ayah

(5) Anaknya saudara kandung (keponakan); kebawah

(6) Anak lelakinya saudara dari ayah; kebawah

(7) Paman kandung

(8) Paman dari ayah

(9) Anaknya paman (sepupu); kebawah

Secara berurutan, jadi anak lelakinya paman kandung lebih didahulukan daripada anak lelakinya paman dari ayah. Apabila Ashobah dari jalur Nasab sudah tidak ada, maka Wali / Sayyid yang memerdekakan, lalu Ashobahnya sesuai urutan warisan.

Bila Wali perempuan / Sayyidah yang memerdekakan masih hidup, maka budak yang dimerdekakannya dinikahkan oleh orang yang menikahkan si Sayyidah sesuai urutan sebelumnya di Wali wali jalur Nasab, jika si Sayyidah mati, maka budaknya dinikahkan oleh orang yang mempunyai hak kewalian terhadap budak tersebut, lalu anaknya budak tersebut, lalu anaknya anaknya (cucunya) budak tersebut.
Lalu (yang terakhir) hakim (KUA) yang akan menikahkan; apabila sudah tidak ada wali dari jalur Nasab maupun jalur kewalian.
Kemudian Mushonif berlanjut membahas Khitbah; yakni permintaan si Khotib (pelamar) kepada Makhtubah (yang dilamar) untuk menikah. lantas Mushonif berkata;
Kemudian Mushonif berlanjut membahas Khitbah; yakni permintaan si Khotib (pelamar) kepada Makhtubah (yang dilamar) untuk menikah. lantas Mushonif berkata;

Tidak diperbolehkan melamar wanita secara gamblang kepada wanita yang sedang (masa) Iddah karena ditinggal mati (suami) atau ditalak Ba'in (talak 3 kali) atau ditalak Roj'i (talak 1 kali).

'Gamblang' dalam artian ucapan yang dengan jelas mengutarakan keinginan untuk menikah; seumpama si Khotib berkata kepada Wanita Iddah tersebut "Saya ingin menikahimu".
Namun, jika Iddahnya karena talak Roj'i, maka diperbolehkan melamar si wanita Idah tersebut secara samar (Kinayah) dan (boleh) dinikahi setelah masa Iddahnya rampung.

'Samar' dalam artian ucapan yang secara tidak pasti mengutarakan keinginan untuk menikah; namun lebih mengarah untuk ingin menikah; semisal si Khotib berkata kepada pada wanita "Banyak orang yang suka denganmu (termasuknya saya suka dengan dirimu)".

Wanita yang terbebas dari hal hal yang mencegah pernikahan dan lamaran sebelumnya, maka boleh dilamar; baik secara gamblang maupun secara tidak gamblang (Kinayah).

Wanita ada 2 perincian : (1) Janda dan (2) Perawan

Janda adalah wanita yang keperawanannya hilang karena Wati (berhubungan intim) halal ataupun haram, sementara perawan adalah sebaliknya janda.

Ayah atau kakek (bila tidak ada ayah atau keluarganya ayah sama sekali), boleh menjodohkan putrinya yang perawan untuk menikah; apabila ketentuan penjodohan sudah terpenuhi; yaitu (1) tidak pernah disetubuhi lewat Qubul (jalan depan) dan (2) dijodohkan dengan orang yang setara (segi nasab dan ilmu, tidak harus kaya) dengan maskawin mata uang negara.

Sementara anak perempuan yang sudah janda; tidak boleh (tidak sah) dijodohkan oleh walinya (ayah / kakek), kecuali si janda sudah Baligh dan memberi izin dengan ucapan; bukan diam.

- Karena izinnya anak kecil tidak dianggap -

Wallahua'lam

Post a Comment for "Fathul Qorib Tsani dan terjemah | Ma Layasihhu Nikah"